Menjelang hari raya Idul Fitri, ada tradisi di Bima tempo doeloe untuk memasang Ilo Nggari di pojok-pojok halaman rumah.
Ilo Nggari kalau diterjemahkan kira-kira berarti “Lampu yang semarak”. Bisa dimaklumi karena pada zaman dulu, tidak ada penerangan listrik sehingga lampu untuk penerangan hanya ala kadarnya. Nah, menjelang Idul Fitri, dipasanglah lampu dalam jumlah banyak sehingga lebih terang atau samarak (nggari).
Ilo nggari umumnya dibuat dari minyak pohon Jarak. Biji Jarak yang sudah tua ditumbuk bersama kapas atau kapuk, lalu dibalutkan ke batang yang dibuat dari bambu.
Mungkin karena proses pembuatannya yang menempelkan (peta) bahan bakar lampu dari biji Jarak ini ke batang bambu maka lampu ini disebut juga Ilo Peta (Ilo = Lampu, Peta = Tempel). Namun demikian, ilo semacam ini ada juga yang menyebutnya Ilo Ruma (Lampu Tuhan), dengan bahan bakar dari buah pohon Mantau (semacam kemiri).
Tradisi memeriahkan suasana Idul Fitri ada juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Di Gorontalo, misalnya, dikenal Tumbilo Tohe, yaitu memasang lampu di halaman rumah-rumah penduduk dan di jalan-jalan terutama jalan menuju masjid (Tumbilo = Memasang, Tohe = Lampu). Zaman dulu lampu dibuat dengan bahan bakar damar, namun berkembang hingga menggunakan minyak tanah, bahkan sekarang disemarakkan juga dengan lampu listri.
Tahun 2019, Bupati Boalemo, Gorontalo, bahkan mengadakan festival Tumbilo Tohe dengan menghadirkan sejuta lampu dari botol.
Lain daerah lain padang, lain lubuk lain ikannya. Di pulau Lombok, masyarakat justru memasang Ilo Nggari untuk menyambut “Malam Lailatul Qadar”, yaitu di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. Tradisi ini bernama “Dile Jojor”, dengan lampu yang hampir sama dengan Ilo Peta di Bima, menggunakan bahan bakar dari buah Jarak.
(Dirangkum dari berbagai situs di Internet)