“Suatu waktu di tahun 2002, di sudut bangunan bandara internasional Heathrow kota London, dengan memakai sarung Nggoli hadiah dari ibu, aku menunaikan shalat di sebuah Multi faith Room. Diam-diam ternyata ada orang bule yang memperhatikan corak sarung nggoliku. Dia mengira aku seorang rastaman, tapi aku jelaskan kepadanya bahwa kain yang aku pakai adalah sarung dan lebih khusus bernama Tembe Nggoli. Aku tahu dia bingung untuk mengerti kata Tembe Nggoli namun aku membiarkan dia penasaran. Dalam hati aku berdoa semoga suatu hari engkau akan datang mengunjungi tanah kelahiranku dan tempat asal tembe nggoli -Le journal de La Sali Mangari kampuja 2002″

Kebiasaan di dalam masyarakat Mbojo, ketika bayi keluar dari rahim ibunya, setelah mendapatkan pelukan pertama dari sang ibu, dia akan direbahkan di atas lipatan empuk tembe nggoli ‘bou (Sarung Nggoli Baru)

Ketika si bayi tumbuh menjadi bocah dan di saat akan melaksanakan acara sunatan, dia akan dipakaikan tembe nggoli baru yang indah.

Ketika si bocah tumbuh remaja, hal sangat penting yang selalu dilakukan oleh sang ibu adalah memakaikannya dengan tembe nggoli yang baru sebagai bentuk kebahagiaan dan rasa syukur terhadap Yang Maha Kuasa atas pencapaian pertumbuhan sang anak.

Seorang anak lelaki mbojo dengan tembe nggoli saat bermain dan belajar.

Ketika seorang anak dari Suku Mbojo akan merantau, tidak lupa sang ibu menghadiahkannya dengan tembe nggoli dan sajadah sebagai pesan tersirat untuk tidak lupa akan kewajiban beribadah kepada Allah.

Ketika seorang anak Mbojo berada di tanah rantau, tembe nggoli menjadi pengingat yang akan mendekatkannya dengan kampung halaman.

Anak gadis Mbojo akan belajar muna tembe nggoli (menenun) dan hasil karyanya akan dipersembahkan kepada suami dan keluarga kecilnya. Seandainya dia belum menikah dan sang kekasih masih berada di tanah rantau, sang gadis biasanya akan mengirimkan hadiah dan oleh-oleh tembe nggoli untuk calon suaminya sebagai bentuk ungkapan rindu dalam penantian.

Ketika si remaja tadi akan melangsungkan acara perkawinan, banyak dari saudara, teman dan keluarganya akan memberinya kado pernikahan berupa tembe nggoli. Pasangan pengantin baru Dana Mbojo tidak akan ketinggalan untuk melewati masa-masa bulan madu mereka dengan selalu memakai tembe nggoli.

Nilai-nilai persahabatan akan diungkapkan dengan hadiah berupa Tembe Nggoli.

Tembe Nggoli tidak bisa dipisahkan dari perjalanan sejarah keberadaan masyarakat Mbojo, ia tidak hanya sebuah karya indah leluhur kita tetapi juga adalah identitas sebuah suku yang bernama Mbojo. Ia tidak hanya sebuah produk kain biasa, tetapi juga mengandung nilai sosial dan spiritual yang tinggi bagi masyarakat Mbojo.

Sejenak kalau kita melihat ke belakang bahwa sejarah tentang pakaian kebesaran dan strata social masyarakat Mbojo telah menempatkan kain dan tembe nggoli sebagai salah satu model pakaian yang wajib dimiliki dan dipakai oleh para bangsawan dan keluarga kerajaan, sementara bagi masyarakat biasa bahwa memiliki dan memakai tembe nggoli adalah sebuah prestige dan menduduki tempat tersendiri dalam perspektif dan interaksi  kehidupan sosial bermasyarakat. Memakai Tembe Nggoli dalam kegiatan-kegiatan tertentu adalah sebuah kebanggaan dan bahkan menjadi sebuah keharusan yang didasari oleh rasa cinta pada tanah dan kampung halaman dan lebih hebatnya lagi bahwa Tembe Nggoli memiliki fungsi tidak hanya sebagai pakaian identitas daerah tetapi juga sebagai perekat silaturahmi antar masyarakat Mbojo yang berada di rantauan yang mana ketika kita melihat orang yang memakainya, seakan-akan kita sudah tahu bahwa dia pasti ada hubungannya dengan daerah atau masyarakat yang bernama Mbojo.

Seorang Ibu Bersama putrinya memakai rimpu Mbojo (Dokumen Keluarga tahun 2017)

Akhir-akhir ini kita lagi diramaikan oleh sebuah berita tentang pemandangan dan foto dimana kain Nggoli digunakan untuk membungkus batang-batang pohon disepanjang jalan daerah wisata Lawata kota Bima yang diinisiasi oleh Pemkot Bima dalam upaya memperkenalkan kain nggoli sebagai ikon wisata budaya kota Bima.

Sekilas kelihatannya memang bagus sekali, kita bisa membayangkan deretan pepohonan di pinggir jalan raya yang dibungkus dengan kain nggoli yang berwarna-warni yang menciptakan suasana dan kesan privilege tersendiri bagi lokasi tersebut dan lebih dari itu, kain nggoli bukanlah jenis kain yang harganya murah tetapi boleh dibilang cukup mahal untuk sekelas ekonomi kita orang biasa.

Sebagai seorang praktisi pariwisata, saya sangat senang dan appreciated terhadap  Pemerintah Kota Bima yang telah berinisiatif mengeluarkan biaya yang tidak sedikit utk promosi wisata budaya dengan ikon tembe nggoli ini. Tetapi pertanyaan selanjutnya apakah dengan mengeluarkan biaya yang banyak untuk membeli kain Nggoli dan kemudian digunakan untuk membungkus batang-batang pohon pinggir jalan adalah implementasi kebijakan yang bagus dalam perspektif penghormatan terhadap nilai budaya dan juga secara ekonomi bisnis?

Pada tahun 1995 sampai tahun 1998, saya bertugas sebagai seorang director pada sebuah International Cruise Ship dan kami banyak mengunjungi pulau-pulau terpencil baik di Indonesia maupun di luar negeri. Namun dari semua pengalaman perjalanan tersebut, saya tertarik membahas sedikit masalah kepulauan Sabu atau Savu dan kain tenunnya. Bagi masyarakat Sabu, kain tenunan sebagai karya warisan leluhur mereka memainkan peran yang sangat penting dalam kegiatan sosial dan keagamaan dan karena itu, sebagai bentuk penghormatan untuk sarung dan kain tersebut, mereka selalu menempatkannya pada posisi yang sangat sakral dan penting. Alhasil karena penghormatan yang mereka lekatkan pada kain tenun tersebut, sekarang orang asing berbondong-bondong mencari kain tenun khas Sabu langsung ke tempat aslinya yang pada akhirnya menjadikan sarung khas Sabu dikenal oleh dunia internasional.

Begitu juga halnya kalau kita melirik barang-barang fashion berkelas sebagai iconic brand negara-negara asalnya seperti Gucci, Armani, Versace (Italia),  Hermes Paris, Luiss Vuitton  atau Chanel (France) Rolex (Swiss) dan lain sebagainya. Saya belum pernah melihat ataupun membaca berita bahwa Perusahaan-perusahaan fashion dunia tersebut menggantungkan sebuah tas mahal produk mereka ke atas pohon ataupun mengikatkan barang-barang produk mereka yang mahal ke tiang listrik ataupun untuk membungkus batangan pohon di pinggir jalan hanya untuk tujuan promosi ataupun atas nama wisata budaya negara mereka sehingga orang yang melihatnya datang berbondong-bondong untuk membeli dan mengakui ketinggian kualitas produk mereka. Saya juga belum pernah mendengar khabar ataupun membaca berita bahwa perusahaan Rolex yang memproduksi jam tangan mahal dan berkualitas memakaikan jam buatannya ke kaki kuda sebagai bentuk promosi agar produknya terkenal dan dibeli orang banyak.

Kenapa mereka tidak melakukan hal demikian? Jawabannya sangat simple karena mereka, perusahaan-perusahaan tersebut tahu bahwa barang berharga dan berkualitas tinggi harus disimpan dan didisplay di tempat yang layak, cocok dan bagus untuk menciptakan impresi bisnis yang tinggi atas kualitas dan nilai histori dari barang-barang produknya.

Kain nggoli dan tembe nggoli dalam pandangan saya bukan hanya sekedar sebuah produk fashion biasa tetapi merupakan historical fashion, sebuah produk budaya tinggi hasil karya nenek moyang suku bangsa Mbojo yang nilai historinya jauh lebih tinggi dari barang-barang produksi fashion jaman modern dan oleh karena itu, seyogyanya harus ditempatkan di tempat yang layak, cocok dan strategis yang memenuhi kaidah dan kearifan budaya lokal untuk menjaga dan menjamin kualitas dan nilai-nilai historinya. Kita semua saat ini bisa berbahagia karena akhir- akhir ini usaha untuk memperkenalkan kain nggoli lewat berbagai event seperti pameran daerah dan nasional, fashion show maupun yang lainnya telah massive dilakukan baik oleh pemerintah daerah maupun oleh kelompok-kelompok masyarakat Mbojo yang tinggal di kota-kota besar lainnya di seluruh Indonesia dan sedikit demi sedikit keberadaan kain nggoli sudah semakin dikenal oleh masyarakat Indonesia maupun dunia.

Namun di balik berita gembira tersebut, saya ingin menutup tulisan singkat ini dengan satu pertanyaan yang akan menjadi renungan bersama buat kita semua sebagai masyarakat Mbojo yang peduli dengan budaya kita yaitu seandainya setelah semua usaha sudah kita dilakukan untuk memperkenalkan kain nggoli sehingga dikenal luas dan bisa go internasional, namun bagaimana jadinya kalau orang luar yang sudah kadung suka dan senang serta mengagumi kain nggoli ternyata tahu bahwa di tanah asalnya, kain nggoli tidak punya nilai apa-apa dan hanya dipakai untuk membungkus batang-batang pohon dan kayu liar di pinggir jalan?

Mari kita bergandeng tangan dan Bersama-sama sebagai warga masyarakat mbojo untuk menjaga, melestarikan dan mempertahankan serta melindungi hasil karya agung warisan leluhur kita karena kalau bukan kita lantas siapa lagi yang akan melakukannya?

Laut Cina Selatan, 30 Juni 2020.
La Sali Mangari Kampuja.

1 Comment

  1. Khabarnya tembe nggoli yg buat ngikat pohon itu sdh ditarik kembali, om. Ternyata banyak reaksi masyarakat yg tdk setuju, jadi pemda mengambil kebijakan utk menarik kembali.
    Mudah2an ke depannya bisa memikirkan cara promosi yg lbh baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *