Oleh: SBY LA SIWE MBOJO
(Sekarang tinggal di Yogjakarta)

Adigium Masyarakat Bima tentang Belajar dan Berusaha

Ada dua adigium masyarakat Bima “Mu ne’e si mori taho laopu tanao di rasa dou” dan “Iu wa’upu susa ampo mu mori sana”.

Adigium pertama itu maknanya kurang lebih “jika ingin sukses pergilah belajar ke daerah lain/ negara lain”, sedangkan adigium kedua artinya “bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian”. Dua adigium itu menjadi pemicu semangat kami anak-anak muda Bima untuk menatap kehidupan di masa selanjutnya. Dan demi aktualisasi dua adigium tersebut sekitar tahun 1984 saya pun memantapkan hati untuk mengejar impilan bermodalkan ilmu.

Jauh sebelum tamat SMA kalau saya ditanya apa cita-citamu, selalu saya jawab ingin menjadi hakim, sebuah profesi mulia menurut saya kala itu (sebelum terkontaminasi virus korup) seperti sekarang. Dan anehnya lagi, kala itu ketika saya ditanya mau kuliah dimana, saya selalu menyebut di UGM, sebuah universitas ternama yang saya kagumi setelah saya membaca koran ada orang Bima yang jadi dosen dan Doktor di Universitas Gadjah Mada. Saya terobsesi ingin jadi anak Bima yang sama dengan Sang Doktor tersebut, tapi cita-cita tinggal cita-cita keadaan tidak memungkinkan.

Arah Cita-Cita yang Tak Tercapai

Rupanya cita-cita saya kuliah di Yogja di UGM itu hanyalah cita-cita yang tidak memiliki jalan untuk bisa saya tembus. Selain tidak memiliki keluarga yang bisa didatangi untuk tumpangan hidup sementara, orang tua saya tidak memberi izin untuk kuliah di Jawa dengan segala argumen. Tetapi saya masih beruntung karena saya masih diizinkan kuliah di kota Angin Mamiri Ujung Pandang (kini Makassar). Bukan tanpa alasan saya diizinkan kuliah di di kota Angin Mamiri, saya adalah cucu hasil pernikahan amalgamasi, sehingga darah yang mengalir dalam diri saya campuran antara Bugis-Bima (Bubi), nenek saya berdarah Bugis sementara kekek saya asli Bima. Ya kata orang Jawa sih keinginan Bapak saya mungkin niatnya untuk “ngumpul balung pisah”.

Kota Ujung Pandang

Karena sudah diputuskan hanya boleh kuliah di Ujung Pandang, suka tidak suka, mau tidak mau harus ke di kota Angin Mamiri Ujung Pandang, padahal teman-teman saya ada yang ke Yogja, ke Malang, ke Mataram dan lainnya. Tapi sudahlah, yang ada di pikiran saya pokoknya kuliah. Segala macam persiapan sudah dilakukan baik yang administratif maupun yang konsumtif seperti beras, ikan asin, (maaf ini rodo kuno) untuk kalangan mahasiswa milenial. Ke kota Angin Mamiri kok bawa sembako? Mungkin ada yang bertanya, jangan lupa ini “sangu” wajib lhoo, karena di Ujung Pandang dulu belum familiar dengan warung makan, jadi harus masak sendiri.

Transportasi Ke Ujung Pandang

Perjalanan ke kota Angin Mamiri dulu hanya ada satu transportasi, yakni dengan transportasi laut. Kala itu tahun 1980an transportasi laut yang ada hanya ada tiga alternatif. Pertama kapal Perintis, yang kedua kapal Tentara, dan yang ketiga Perahu Kayu. Ketiga alat transportasi laut itu menjadi transportasi umum yang sudah dianggap layak kala itu. Kapal Perintis merupakan alat transportasi favorit kala, ya rumah besi yang terapung di atas laut ini menjadi pilihan utama para perantau jika jadwalnya ada dibandingkan dua alat transportasi lainnya.

Kapal Perintis ini adalah salah satu alat transportasi laut penghubung Nusantara bagian timur, mulai dari Sulawasi Selatan, NTB, NTT bahkan TIM-TIM. Biasanya rata-rata waktu tempuh Bima-Ujung Pandang 2×24 jam, kalau cuaca baik, tapi kalau cuaca buruk bisa sampai 4×24 jam. Alat transportasi lainnya adalah kapal besi milik Tentara Nasional Indonesia yang beroperasi sesaat aja, saat mereka patroli, itupun kalau mendapat izin karena darurat, dengan durasi waktu yang dibutuhkan kadang 28 jam, 48 jam, bahkan 36 jam tergantung rute patrolinya. Alat transportasi ketiga yakni kapal kayu yang saya sebut “Gubuk Terapung” yang senantiasa ada, bisa seminggu sekali, atau juga tiap hari, bergantung ada tidaknya muatan yang akan dibawa. Biasanya muatannya adalah bawang merah, jagung, kedelai, dan lainnya.

Terlunta-lunta 4 X 24 Jam Di Tengah Laut

Tahun 1984 tepatnya tanggal 1 Mei saya memutuskan ikut melangkah meraih ilmu berdasarkan izin orang tua menuju kota Angin Mamiri. Segala persiapan sudah dilakukan, mencari-cari alat transportasi yang bisa dipakai. Saat itu hanya ada satu kapal laut dari kayu yang namanya “Surabaya Indah”. Saya beserta banyak orang yang saya tidak tahu pasti jumlahnya , yang pasti banyak orang yang bersama saya ingin meraih impian menuju kota “Angin Mamiri” guna ikut seleksi SIPENMARU (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru). Dari pelabuhan Tanjung Bima tepatnya pukul 18.00 menjelang Magrib, diiringi tangisan orang tua dan saudara, kamipun berlayar menuju kota Angin Mamiri.

Ilustrasi (sumber: Internet)

Perjalanan menuju kota Angin Mamiri seharusnya bisa ditempuh dalam waktu 2×24 jam, tetapi tidak mesti juga, kadang bahkan bisa sampai 1 minggu. Dalam batin saya, ini saatnya bertarung hidup dan mati. Jika cuasa baik kami bisa sampai dengan selamat di kota tujuan, tapi bila cuaca buruk bukan tidak mungkin kami yang akan menjadi korban keganasaan alam. Malam hari pertama menuju kota Angin Mamiri, kami belum menemukan kendala yang berarti, sebagai anak laut (Tanjung) keadaan laut yang bergelombang 1 meter bukan tantangan buat saya, karena sudah terbiasa. Hari kedua cuaca mulai memburuk, saat kami melintasi laut Masalembo tiba-tiba gelombang tinggi 2-3 meter menerpa kapal kayu yang kami tumpangi. Kami dihempaskan ke kiri dan ke kanan oleh ombak, banyak di antara kami yang mulai muntah, menangis, dan ada pula yang berdoa. Bagaimana tidak, hempasan angin dan gelombang yang tinggi menjadikan kami korban empuk yang menjadi basah kuyup berhari-hari, kedinginan sampai menggigil kami rasakan, tak ada pilihan, harus bertahan dalam ganasnya angin dan ombak laut lepas.

Seharusnya kami sudah bisa sampai di kota Angin Mamiri sekitar pukul 18.00 tanggal 3 Mei 1984, akan tetapi apa daya, sampai tanggal 3 Mei kami masih di atas kapal kayu tanpa kepastian. Tiba-tiba salah seorang kepala kamar mesin berkata lirih ke kapten kapal, ini arah angin mengarah ke Selayar, salah satu pulau di Sulawesi Selatan. Saya yang mendengar pembicaraan itu bertanya: “apakah kita akan menuju Selayar?” Dengan tenang Kapten kapal menjawab: “semoga tidak, tenang saja”. “jangan sampaikan ke yang lain,” katanya lagi.

Aku faham, jika kusampaikan pada penumpang yang lain, tentu akan menimbulkan kegaduhan dan kecemasan. Gelombang dan angin bukannya mereda, melainkan menjadi-jadi, gelombang mencapai ketinggian 3-4 meter, hampir-hampir kapal kayu yang kami tumpangi itu tertutup oleh tingginya gelombang. Salah seorang teman saya sudah menangis histeris, saya berusaha menenangkannya.

Di Saat saya menenangkan teman saya, tiba-tiba gelombang setinggi 5 meter menghantam lagi kapal kayu yang kami tumpangi. Saya yang berusaha tenang, kecut juga akhirnya. Tiba-tiba air mulai masuk ke dek kapal. Saya yang memang dari semalam sudah basah kuyup, kembali basah. Saya berusaha menggeser tempat saya duduk ke arah yang menurut saya lebih aman, akan tetapi justru di tempat duduk yang baru ini menjadi awal bencana buat saya. Sesaat setelah saya bergeser, gelombang yang lebih dahsyat menerpa lambung kiri kapal kayu yang kami tumpangi. Badan saya tergelatak di geladak kapal. Sekuat tenaga saya bertahan agar badan saya tidak semakin mendekati pembatas geladak kapal.

Tiga malam sudah kami di laut, sembari berjuang agar tetapi bisa bertahan dalam basah dan kedinginan. Entah berapa lama lagi kami akan berada di laut dengan keadaan seperti ini. Saya dan teman-teman hanya bisa berharap cemas semoga cuaca semakin membaik, dan kami segera berlabuh. Ternyata kami masih harus bersabar, Kapal kayu yang kami tumpangi ternyata terbawa arus jauh dari arah menuju ke kota Angin Mamiri. Hal itu kuketahui dari pembicaraan kru kapal, mereka bercerita kita butuh waktu 1 malam lagi dan jika cuaca membaik kami akan berlabuh tanggal 5 Mei 1984.

Alamdulillah perjalanan kami malam ini agak lumayan, cuaca mulai bersahabat walau kami tetap dalam keadaan basah dan kedinginan, tetapi minimal kami ayem karena gelombang dan angin tidak lagi setinggi dan sekencang kemarin. Kami tetap berlayar sampai keesokan harinya terlihat sinar matahari yang mencerahkan, dan dari arah kejauhan terlihat juga beberapa pengunungan yang menunjukkan kami hampir sampai daratan.

Sesekali gelombang 2 meteran menyapa kami, angin pun demikian. Tetapi karena di kejauhan sudah kelihatan daratan, basah dan kedinginan yang kami rasakan 4 malam tidak kami hiraukan.

Basah Tapi Tidak Rusak

Tepat pukul 18,00 kami pun bersandar di pelabuhan Poutre kota Angin Mamiri. Segera kami bersiap, segala bawaan kami bawa turun, dan apa yang terjadi? Tas pakaian saya (bukan koper) basah kuyup, demikian juga dengan “sangu” saya yang lain seperti beras dan ikan kering. Pada saat itu yang terlintas di pikiran saya semoga barang berharga yang saya perjuangkan selama dua belas setengan tahun tidak ikut basah.

Ilustrasi (sumber: Internet)

Akan tetapi harapan saya tinggal harapan. Ijazah yang saya perjuangkan selama 12,5 tahun (SD, SMP, SMA) ikut basah. Maklum untuk menyelamatkan ijazah atau dokumen lainnya pada saat itu belum ada yang namanya laminating seperti sekarang ini.

Alhasil sayapun menangis. Keesokan harinya setelah sampai di tempat “penampungan” sementara, tepatnya di Jalan Cendrawasih Lorong 1 nomor 10 Ujung Pandang (rumah saudara dari nenek), ijazah-ijazah itu saya jemur. Alhamdulillah tiga lembar kertas yang bermakna itu hanya basah tetapi tidak robek, jadi wujudnya tetap utuh walau pas foto yang menempel di lembar kertas itu tidak terlepas, jadi masih aman untuk digunakan untuk daftar seleksi SIPENMARU.

(bersambung)

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *