Dia tinggal di sebuah rumah panggung. Rumah itu berlokasi di tengah permukiman padat penduduk di RT 15, Kelurahan Rabangodu Utara, Kecamatan Raba, Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Menuju ke rumah panggung itu, kita harus melewati gang yang lebarnya tak cukup untuk dua sepeda motor berpapasan.
Lama sekali kita tidak ketemu,” kata M Hilir Ismail, si pemilik rumah, sambil menyalami Kompas. Jemari tangannya menjepit bolpoin. ”Saya lagi nulis-nulis, melengkapi tulisan yang akan saya bukukan,” ucapnya.
Setelah merintis berdirinya Museum Asi Mbojo Bima, menjadi kepala museum itu (1984-1996), dan pensiun sebagai pegawai negeri sipil (2003), Hilir menyepi di kampung. Ia mengisi waktu dengan menulis buku-buku tentang tradisi Mbojo. Keberadaannya sekaligus menjadi tempat bertanya para seniman muda. Semua itu karena totalitas, dedikasi, dan keberaniannya berkorban materi demi pelestarian seni tradisi Mbojo.
Dari hasil ”bertapa” di rumahnya, Hilir menghasilkan beberapa buku, di antaranya Peran Kesultanan Bima dalam Sejarah Nusantara. Buku yang diterbitkan pada 1998 ini beredar sampai ke Belanda, Jerman, dan Selandia Baru serta dicetak ulang pada 2004.
Buku lainnya, Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Tanah Bima), yang disusun Hilir sejak 2001, dicetak pada 2004. Dia juga menghasilkan buku bunga rampai Menggali Pusaka Terpendam yang berisi buah pikirannya tentang adat istiadat dan sistem nilai budaya Mbojo.
Kini, ia sedang menyusun buku Tokoh-tokoh Sejarah Lokal Bima Periode 1611-1951 dan menyelesaikan buku-buku pendukung kurikulum muatan lokal bagi siswa SD.
Memang belum banyak karya buku yang dihasilkan Hilir. Lelaki ini lebih dikenal sebagai penggiat dan pelestari seni tradisi Mbojo. Ia memiliki Sanggar Seni Paju Monca yang didirikan pada 1984. Di sini anak-anak TK sampai SMA belajar dan berlatih menari serta seni musik, dua kali seminggu.
”Anak-anak yang dulu latihan menari di sini banyak yang sudah bekerja. Malah di antara mereka ada yang sudah punya sanggar dan murid sendiri, bahkan bergelar sarjana tari,” cerita Hilir.
Di sanggar yang anggotanya lebih dari 100 orang itu, ia dengan setia mengawal dan membimbing anak-anak asuhnya berpacu mengembangkan bakat seni tari dan seni tabuh. ”Saya cuma punya ide, yang mewujudkannya menjadi tarian istri saya.”
Istrinya, Linda Yulianti, adalah guru kesenian dan praktisi tari. Suba Monca’ (suba > pasukan, monca > kuning/istana) adalah salah satu karya bersama Hilir dan Linda. Tari perang yang menggambarkan kisah heroik itu sempat populer dan acap kali ditayangkan TVRI pada 1990-an.
Karya seni mereka muncul dari tempat latihan di halaman rumah yang berlumpur saat musim hujan dan berdebu pada musim kemarau. Meski begitu, sanggar Hilir tetap menjadi persinggahan wisatawan asing yang berkunjung ke Bima karena mereka rupanya lebih suka menonton tarian di tengah kampung, bukan di panggung resmi.
Korban materi
Kepedulian Hilir pada seni tradisi dan budaya Mbojo tak perlu diragukan. Ia tak keberatan berkorban materi guna membiayai akomodasi dan transportasi awak sanggar dari rumah ke tempat pementasan. Langkah itu dia ambil untuk menghadiri pentas di luar daerah, seperti Jakarta, karena bantuan dana dari pemerintah daerah relatif terbatas.
Saat pentas malam hari untuk memenuhi undangan Pemerintah Kota Bima, Hilir juga pasti tekor. Dalam kelelahan fisik seusai pergelaran, sambil menunggu mobil jemputan, biasanya para awak sanggarnya kelaparan. Padahal, di tempat pementasan tak selalu disediakan makan malam. Hilir pun merogoh sakunya untuk membeli nasi bungkus bagi mereka.
Lebih celaka lagi jika kendaraan yang ditunggu tak kunjung tiba. Menjelang pentas, biasanya panitia menjemput para penari, tetapi usai pentas tak jarang mereka dibiarkan saja, tak diantar. Walhasil, Hilir terpaksa menyewa benhur (kereta kuda) untuk mengantar anak asuhnya yang pulang larut malam.
Di tengah kegelapan malam seperti itu, dia suka diganggu ”makhluk halus”. Hilir bercerita, suatu malam di lokasi yang dianggap angker di Kota Bima, kuda penarik benhur meringkik keras, berjingkrak-jingkrak di tempat, kedua kaki belakangnya menendang-nendang gerobak cidomo. Saisnya nyaris tak mampu menenangkan kuda itu sehingga penumpang pun panik.
”Kami cuma lewat, kelembo ade (mohon maaf) kalau kami dianggap mengganggu,” begitu ucap Hilir mencoba berdialog dengan ”penghuni” tempat itu. Setelah itu, kuda pun kembali tenang berlenggang mengantar para penumpang.
Tantangan paling banyak dialami Hilir ketika ia dipercaya merintis berdirinya Museum Asi Mbojo. Pasalnya, museum itu dirintis dengan ”modal dengkul”, tak ada benda-benda koleksi, apalagi lemari pajang untuk benda koleksi.
Gedung eks kediaman sultan dari Kesultanan Bima yang dijadikan museum itu pun sudah lebih dari 10 tahun tak ditempati. Seluruh ruangannya berdebu dan menjadi sarang laba-laba, ternak sapi dan kambing berkeliaran di halaman yang dipenuhi sampah dan semak belukar.
Di sinilah terlihat kesediaan Hilir untuk berkorban. Ia merogoh koceknya untuk membayar orang guna membersihkan halaman dan ruangan museum. Karena tak punya staf ataupun karyawan, jadilah Hilir bertindak selaku ”juru kunci” sekaligus tukang sapu setiap kali masuk ruang kerjanya.
Untuk melengkapi fasilitas museum itu, Hilir berjibaku agar ada bantuan. Belakangan, Museum Negeri NTB di Mataram memberikan beberapa lemari pajang. Setelah itu, Hilir masih harus memutar otak untuk mengisi lemari pajang tersebut.
Jadilah setiap kali pergi ke desa-desa, Hilir minta keringanan hati warga setempat untuk menyumbangkan peralatan rumah tangga, alat pertanian, nelayan, dan peralatan untuk acara daur hidup, pernikahan, dan sebagainya.
Setelah benda-benda koleksi terkumpul, Hilir lagi-lagi bekerja sendirian. Dia pula yang menata letak benda koleksi museum agar punya alur cerita sehingga dapat memberikan gambaran sekilas bagi para pengunjung.
Kini, museum itu menjadi rumah keduanya. ”Saya meninggalkan rumah pukul 07.00 dan pulang pukul 22.00 ketika anak-anak sudah tidur,” tutur Hilir yang sumbangsihnya bagi kebudayaan Bima seakan tanpa batas.
sumber : kompas.com