Skandal seks Sang Jenateke nggak usah jadi ajang caci maki sesama Bima. Dia yang enak kita yg ikut berdosa. Kita manfaatkan memontum ini untuk mengakhiri riwayat jenateke. Gelar itu ahistoris, politis, sarat rekayasa, kadaluarsa, ketinggalan zaman, tak berguna, tidak bermanfaat dan banyak mudaratnya. Kata orang Jerman: tidak zeitgeist atau tidak sesuai jiwa zaman. Gelar itu cuma dipakai keluarga IDP sebagai alat pencitraan jelang pileg dan pilkada. Kita nggak pernah dengar prestasi jenateke, yg ada justru skandal.

Sultan Bima Feriyandi

Jenateke/putra mahkota di negara monarki konstitusional (Malaysia, Jepang, Thailand atau Inggris), sangat istimewa karena menjadi tangki moral publik. Dia merupakan acuan moral masyarakat; tutur katanya diikuti, tingkah lakunya jadi contoh dan tindakannya menjadi teladan. Makanya mereka berhati-hati. Mata publik termasuk pers tertuju ke mereka. Paparaji, yang mengincar foto-foto ekslusif mereka, menguntit putra mahkota hingga ke kamar tidurnya. Begitu ada skandal, langsung di blow up media, jadi konsumsi publik.

Bima bukan monarki atau monarki konstitusioal. Di Indonesia, hanya Kerajaan Mataram Ngayoyakarta dengan rajanya, Sri Sultan Hamengkubuwono, yang mirip itu. Karena hanya itu kerajaan yang diakui negara. Artinya Bima nggak masuk hitungan karena bukan kerajaan kecuali dibuat seolah-olah kerajaan oleh wangsa bekas bangsawan Rasanae. Begitu pun kerajaan Siak, Buton, Tidore atau Kerajaan Sunda Galuh. Mereka lantik2 raja sebatas menjadi pengawal budaya dan bekas keluarga kerajaan mewadahi diri dengan yayasan supaya ada legalitasnya. Ke fertival keraton pun begitu. Itu ajang nostalgia orang-orang tua yang terikat romantisme lama. Pemerintah pun menopang.

Jenateke Bima, juga begitu terikat moral dan etika sebagai figur publik karena dilantik atas nama publik (masyarakat Bima) dengan uang negara milyaran dari APBD. Seperti dalam monarki konstitusional, jenateke Bima pun merupakan acuan moral publik: tingkahnya lakunya jadi contoh, tindakan dan perbuatannya dilihat dan diikuti, langkah-langkahnya menjadi perhatian publik. Hanya sebatas itu fungsinya. Mau lebih itu, dia tidak punya negara. Makanya orang bereaksi terhadap beredarnya foto panas dia dengan seorang wanita. Nah, pengikut dan loyalis dia dan IDP; udah gak paham fungsi jenateke alay pula, menantang pengkritik jenateke “memang kalian nggak pernah berbuat begitu”, “kaya orang bersih saja”, “nggak usah urus orang” dan seterusnya. Mereka nggak tau ungkapan: “Raja adil raja disembah; raja lalim raja disanggah”.

Di era kerajaan, menjelang tuha ro lanti, seperti ditulis sejarawan Abdullah Tajeb (1995), “putera mahkota, calon raja diperlakukan laksana dewa yang tengah menjelma di bumi, disanjung dan dihormati. Protokoler penuh diterapkan. Kekurangan dan kesalahan kecil sekali pun harus dihindarkan sedapat mungkin, karena hal itu berarti tidak menghormati raja”. Memang status dia palsu tapi pelantikan sudah terjadi dan kalau peristiwa sudah berlangsung dia menjadi penanda atau signfier. Maksudnya, masyarakat tahunya ada raja dan kerajaan.

Satu hal lagi, kenapa aspek moral melekat ke raja/raja muda dalam monarki konstitusional? Karena peran mereka hanya itu. Peran politiknya sudah dihapus oleh UU. Tidak hanya haknya menjadi kepala negara dan pemerintahan yang dilucuti. Dia juga tidak boleh menjadi anggota dan ketua parlemen, ketua ormas dan ketua atau pengurus partai. Tujuannya supaya tidak terjadi dualisme peran yang menimbulkan konflik kepentingan. Yang atur negara dan mengelola pemerintahan adalah perdana menteri yang dipilih secara demokratis oleh rakyat. PM inilah yang membetuk pemerintahan seperti Mahathir di Malaysia. Begitu pun di Jepang dan Thailand, Belanda, Spanyol dan lainnya.

Di sinilah letak carut-marut Bima. Jenatakenya sudah nggak punya kerajaan, nggak punya rakyat, merangkap-rangkap jabatan pula. Ini daerah macam apa? Sudah begitu oligarkis lagi, kekuasaan hanya berpusat di dia dan keluarganya. Itu melanggar Pancasila dan UU 1945. Seperti nggak ada orang Bima yang mampu mencegah penumpukan kekuasaan yang begitu rupa.

Kekonyolan ini harus segera diakhiri. Dia (jenateke) hadir tanpa kerajaan, tanpa legitimasi hukum adat dan negara, itu saja sudah luar biasa. Bukan main baiknya orang Bima ini. Dalam perspektif itulah kita memandang foto-foto seronok dia, bukan malah kita saling caci-maki.

Saya singgung sepintas lahirnya jabatan ini meskipun riwayatnya sudah berahir lama. Dalam aturan adat Bima, jenateke dilantik kalau ada raja yang berdaulat. Kita tahu jenateke yang konstitusional, yang sah menurut adat adalah PUTRA KAHIR. Setelah Sultan M. Salahuddin wafat, tidak jua Putra Kahir dilantik menjadi raja. Kenapa? Karena kerajaan Bima sejak 1945 sudah bergabung dengan NKRI sesuai maklumat Sultan M. Salahuddin. Tahun 1958 resmi bubar secara konstitusional. Majelis Hadat tidak berani gegabah, pasalnya kerajaan tidak ada lagi. Secara adat juga tidak ada klausul di Bo atau dokumen mana pun yang menyebutkan jika kerajaan bubar, keturunan raja terakhir Sultan M. Salahuddin, boleh melanjutkan pemerintahan atau tradisi pelantikan wangsa feodal raja-raja Bima. Kalau mereka bergaya seolah-olah mereka penerus wangsa raja Bima itu, mereka keblinger namanya. Ngaco karena nggak pakai ilmu kecuali pakai syahwat berkuasa. Kerajaan Bima, dinastinya, suksesinya, bangsawan, gelar-gelar, upacara-upacara adat berbau kerajaan, pelantikan raja dan jenateke sudah berakhir.

Ada informasi Putra Kahir pernah melobi sejumlah kalangan supaya bisa dilantik. Namun Majelis Hadat kukuh pada pendiriannya. Di lain pihak ada yang menyebut Putra Kahir memang tidak mau karena dia tahu itu salah.
Ketika Putra Kahir meninggal, Hj. Siti Maryam R Salahuddin [Ina Ka’u Mari] yang mengambil inisiatif. Kata satu tokoh Bima La Tofi (putra dari jeneli Rasanae terakhir) trouble maker itu bermula dari rekayasa Ina Kau Mari yang nekad melantik paksa Putra Kahir yang sudah kaku menjadi mayat, demi menyelamatkan trah dan memberi jalan kepada Fery Zulkarnaen untuk menjadi jenateke berikutnya. Tadisi dan unggah ungguh pelantikan yang sudah baku dilompatin begitu saja. Ina Ka’u juga lupa Kerajaan Bima sudah tidak ada, bahkan jauh sebelumnya semenjak ayahandanya mengeluarkan maklumat tahun 1945. Tapi ditabrak juga. Buktinya beliau masih berani menginisiasi Fery jadi raja, judulnya raja ke-16.

Kesalahan itu menjadi endemik manakala IDP pun tergoda mendorong putranya menjadi jenateke. Ceritanya sebagai pelanjut dari posisi Sang Suami, selaku raja ke-16. Itu artinya kekonyolan menjadi endemik. Kekonyolan serupa bakal muncul ketika musim pilkada dan pemilihan legislatif tiba, jenateke sekarang bakal dilantik jadi raja untuk menambah kekeramatannya sehingga digandrungi rakyat. Uang negara lewat APBD lagi-lagi dikeruk. Jenateke baru dilantik lagi. APBD lagi. Sampai kiamat Bima jadi kabupaten dungu.

Saatnya untuk mengakhiri malpraktek budaya dan sejarah Bima, oleh kelompok kepentingan yang memelencengkan jabatan jeneteke, yang nyata-nyata tidak konstitusional, tidak legitimated dan cacat hukum.

Komodifikasi gelar untuk menopang tujuan politik bagi para Machievellian yakni mereka yang menghalalkan segala cara seperti di Bima itu bagi mereka sah-sah saja, tapi tugas kita memberi sentuhan etis pada budaya kita termasuk budaya politik. Dan hanya satu cara: HENTIKAN, AKHIRI, STOP JENATEKE serta penggunaan simbol-simbol feodal bekas kerajaan. Itu mengada-ada dan masyarakat tidak membutuhkannya.

Kasihan mendiang Sultan M. Salahuddin sejak 1945 secara tulus ikhlas bergabung dengan NKRI dan itu merupakan amal jariyahnya. Mengingkari maklumat itu berarti kita memotong amal jariyah sultan dan masyarakat Bima. Kekeliruan Ina Kau Mari juga kita koreksi sehingga malpraktek adat dan budaya ini tidak menjadi dosa jariyah bagi almarhumah.

Kepada IDP saya sarankan lepaskan dan tanggalkan jabatan pada putranya. Anda sudah mendapat segalanya: nasib baik, nama besar, kekayaan, kemegahan dan kemuliaan. Syukuri itu, in shaa Allah akan Allah tambah nikmat pada IDP.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *